MORFOLOGI
Morfologi
adalah ilmu yang membicarakan, morfem, yaitu bagaimana kata dibentuk dari
morfem-morfem. Jadi, morfologi berurusan dengan struktur dalam kata. Apabila
proses pembentukan masih terbatas pada
kata, maka proses itu belum keluar dari bidang morfologi. Misalnya, putus
diberi imbuhan Me-dan-kan menjadi memutuskan. Baik
unsur putus dan me- ataupun unsur-kan semuanya disebut morfem. Sedangkan satuan
bunyi terkecil dari arus ujaran disebut fonem.
1.
MORFEM
Adalah satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna.(Abdul
Khaer; Linguistik Umum). Menurut Linguis, Blommfield morfem sebagai
bentuk bahasa yang tidak mengandung semi parsial apapun dalam untaian fonologi
dan kandungan semantik dengan bentuk lain. Definisi ini juga mengandung makna
yang sama bahwa morfem adalah satuan terkecil dalam konstruksi kata yang
mengandung makna atau fungsi sintaksis dalam konstruksi kata. Untuk diketahui,
bahasa tradisional tidak mengenal konsep maupun istilah morfem, sebab morfem
bukan merupakan satuan dalam sintaksis dan tidak semua morfem punya makna
secara filosofis. Morfem dikenalkan oleh kaum strukturalis pada awal abad ke
20.
a.
Identifikasi Morfem
Untuk
menentukan sebuah satuan bentuk adalah morfem atau bukan, dengan cara
membandingkan bentuk tersebut di dalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain.
Kalau bentuk tersebut ternyata bisa hadir berulang-ulang dengan bentuk
lain, maka bentuk tersebut adalah sebuah morfem selain itu juga harus dikenal maknanya.
Contoh kita ambil bentuk [kedua], ternyata bentuk tersebut dapat kita
bandingkan dengan bentuk-bentuk: ketiga, kelima, ketujuh, kedelapan, (
menyatakan tingkatan atau derajat).
b.
Morf dan Alomorf
Sudah
disebutkan bahwa morfem dalah bentuk yang sama, yang terdapat berulang-ulang
dalam satuan bentuk yang lain.
Contoh: Melihat, merasa ,membawa,
membantu, mendengar, menduda, menyanyi, menyikat, menggali, menggoda, mengeles, mengetes.
Ada
bentuk-bentuk yang mirip atau hampir sama, tetapi kita juga tahu bahwa maknanya
juga sama.bentuk-bentuk itu adalah me- pada melihat dan merasa, mem-
pada membawa dan membantu, men- pada medengar dan menduda, meny-
pada menyanyi dan menyikat, meng- pada menggali dan menggoda, dan menge-
pada mengeles dan mengetes. Semua imbuhan tersebut bisa disebut sebuah morfem.
Sebab meskipun bentuknya tidak persis sama, tetapi perbedaannya dapat
dijelaskan secara fonologis.
Bentuk me- berdistribusi,
antara lain pada bentuk dasar yang fonem awalnya konsonan /l/ dan /r/;
bentuk mem- berdistribusi, pada /b/ dan /p/; bentuk men-
berdistribusi, pada /d/ dan /t/; bentuk meny-
berdistribusi, pada /s/; bentuk meng- berdistribusi, pada /g/
dan /k/; dan bentuk menge- berdistribusi, antara lain pada bentuk
dasar yang eka suku.
Bentuk-bentuk
realisasi yang berlainan dari morfem yang sama itu disebut alomorf. Dengan kata
lain alomorf adalah perwujudan konkret dari sebuah morfem. Selain itu
bisa juga dikatakan morf dan alomorf
adalah dua buah nama untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah nama
untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya, sedangkan alomorf adalah
nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui status morfemnya.
c.
Klasifikasi Morfem
Morfem-morfem
dalam setiap bahasa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria.
Antara lain berdasarkan kebebasannya, keutuhannya,dan maknanya.
v Morfem Bebas
dan Morfem Terikat
Yang dimaksud
dengan morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul
dalam pertuturan. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, bentuk pulang, makan,
rumah, dan bagus adalah termasuk morfem bebas. Maka morfem-morfem itu dapat
digunakan tanpa harus terlebih dahulu menggabungkannya dengan morfem lain.
Sebaliknya, yang dimaksud dengan morfem terikat adalah morfem yang tanpa
digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertuturan.
v Morfem Utuh dan
Morfem Terbagi
Perbedaan morfem utuh dan morfem terbagi berdasarkan bentuk formal
yang dimiliki morfem tersebut, apakah merupakan satu kesatuan yang utuh atau merupakan
dua bagian yang terpisah atau terbagi, karena disisipi morfem lain. Sedangkan
morfem terbagi adalah sebuah morfem yang terdiri dari dua buah bagian yang
terpisah. Umpamanya pada kata Indonesia kesatuan terdapat satu morfem utuh,
yaitu {satu} dan satu morfem terbagi, yakni {ke-/-an}. Sehubungan dengan morfem
terbagi ini, untuk bahasa Indonesia.
v Morfem
Segmental dan Suprasegmental
Perbedaan morfem segmental dan morfem suprasegmental berdasarkan
jenis fonem yang membentuknya. Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk
oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem {lihat}, {lah}, {sikat}, dan {ber}.
Jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem segmental. Sedangkan
morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur
suprasegmental, seperti tekanan, nada, durasi, dan sebagainya.
v Morfem
Beralomorf Zero
Dalam linguistik deskriptif ada konsep mengenai morfem beralomorf
zero atau nol (lambangnya berupa Ø), yaitu morfem yang salah satu alomorfnya
tidak berwujud bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsur suprasegmental),
melainkan berupa “kekosongan”.
v Morfem Bermakna
Leksikal dan Morfem Tak Bermakna Leksikal
Yang dimaksud dengan morfem bermakna leksikal adalah morfem-morfem
yang secara inheren telah memiliki makna pada dirinya sendiri, tanpa perlu
berproses terlebih dulu dengan morfem lain. Misalnya, dalam bahasa Indonesia,
morfem-morfem seperti {kuda} adalah morfem bermakna leksikal. Oleh karena itu,
morfem seperti ini, dengan sendirinya sudah dapat digunakan secara bebas, dan
mempunyai kedudukan yang otonom di dalam pertuturan.
Sebaliknya,
morfem tak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya
sendiri. Morfem ini baru mempunyai makna dalam gabungannya dengan morfem lain
dalam suatu proses morfologi. Yang biasa dimaksud dengan morfem tak bermakna
leksikal ini adalah morfem-morfem afiks, seperti {ber-}, {me-}, dan {ter-}.
Ada satu bentuk morfem lagi yang perlu dibicarakan atau
dipersoalkan mempunyai makna leksikal atau tidak, yaitu morfem-morfem yang di
dalam gramatika berkategori sebagai preposisi dan konjungsi. Morfem-morfem yang
termasuk preposisi dan konjungsi jelas bukan afiks dan jelas memiliki makna.
Namun, kebebasanya dalam pertuturan juga terbatas, meskipun tidak seketat
kebebasan morfem afiks. Kedua jenis morfem ini tidak pernah terlibat dalam
proses morfologi, padahal afiks jelas terlibat dalam proses morfologi, meskipun
hanya sebagai pembentuk kata.
d.
Morfem Dasar, Dasar, Pangkal, dan Akar
Morfem dasar yaitu morfem
yang dileburi morfem lain, baik yang dileburkan berupa imbuhan maupun klitika
atau bentuk dasar yang lain dalam (pemajemukan) atau yang sama dalam
(reduplikasi).
Istilah morfem dasar biasanya digunakan sebagai dikotomi dengan morfem
afiks.
Contoh : juang, kucing, sikat, henti.
Istilah pangkal (stem) digunakan untuk menyebut bentuk
dasar dalam proses infleksi atau proses pembubuhan afiks inflektif.
Contoh : books pangkalnya
adalah book, untouchables pangkalnya adalah untouchable .
Istilah akar (root) digunakan untuk menyebut bentuk
yang tidak dapat di analisis lebih jauh lagi. Contoh : untouchables akarnya
adalah touch.
tiga macam morfem dasar bahasa indonesia dilihat dari
status atau potensinya dalam proses gramatika yang dapat terjadi pada morfem
dasar itu.
- Morfem dasar bebas
yaitu : mofem dasar yang secara potensial dapat
langsung menjadi kata, sehingga langsung dapat digunakan dalam ujaran. Contoh,
morfem {meja}, {kursi}, {pergi} dan {kuning}.
- Morfem dasar yang kebebasannya dipersoalkan
yaitu : sejumlah
morfem berakar verba, yanng dalam kalimat imperatif atau kalimat
sisipan, tidak perlu di beri imbuhan, dan dalam deklaratif imbuhannya dapat di
tinggalkan. Contoh : {-ajar}, {-tulis}, {-lihat} dan {-beli}
- Morfem dasar terikat .
yaitu : morfem dasar yang tidak mempunyai potensi
unntuk menjadi kata tanpa terlebih dahulu mendapat proses morfologi.
Contoh : {juang}, {henti}, {gaul} dan
{abai}.
Dalam kelompok ketiga ini dapat dimasukkan juga
sejumlah morfem yang hanya dapat muncul
pada pasangan tetap, seperti renta (yang hanya muncul pada tua renta),
kerontang (yanng hanya muncul pada kering kerontang), dan kuyup (yanghanya
muncul pada basah kuyup).
2.
KATA
Secara panjang lebar di atas
telah dibicarakan mengenai satuan gramatikal yang disebut morfem. Namun,
istilah dan konsep morfem ini tidak dikenal oleh para tata bahasawan
tradisional. Yang ada dalam tata bahasa tradisional sebagai satuan lingual yang
selalu dibicarakan adalah satuan yang disebut kata. Apakah kata itu, bagaimana
kaitannya dengan morfem, bagaimana klasifikasinya, serta bagaimana
pembentukannya, akan dibicarakan berikut ini:
a.
Hakikat Kata
Para tata bahasawan tradisional biasanya memberi
pengertian terhadap kata berdasarkan arti dan ortografi. Menurut mereka kata
adalah satuan bahasa yang memiliki satu pengertian; atau kata adalah deretan
huruf yang diapit oleh dua buah spasi, dan mempunyai satu arti. Pendekatan arti
dan ortografi dari tata bahasa tradisional ini banyak menimbulkan masalah.
Kata-kata seperti sikat, kucing dan spidol memang bisa dipahami sebagai satu
kata; tetapi bentuk-bentuk seperti matahari, tiga puluh, dan luar negeri apakah
sebuah kata, ataukah dua buah kata, bisa diperdebatkan orang. Pendekatan
ortografi untuk bahasa-bahasa yang menggunakan huruf Latin, bisa dengan mudah
dipahami, meskipun masih timbul persoalan. Tetapi pendekatan ortografi ini agak
sukar diterapkan untuk bahasa yang tidak menggunakan huruf Latin,
Para tata bahasawan struktural, terutama penganut
aliran Bloomfield, tidak lagi membicarakan kata sebagai satuan lingual; dan
menggantinya dengan satuan yang disebut morfem.
Para linguis setelah Bloomfield juga tidak menaruh
perhatian khusus terhadap konsep kata. Tidak dibicarakannya hakikat kata secara
khusus oleh kelompok Bloomfield dan pengikutnya adalah karena dalam analisis
bahasa, mereka melihat hierarki bahasa sebagai: fonem, morfem, dan kalimat.
Berbeda dengan tata bahasa tradisional yang melihat hierarki bahasa sebagai:
fonem, kata, dan kalimat.
Batasan kata yang umum kita jumpai dalam berbagai buku
linguistik Eropa adalah bahwa kata merupakan bentuk yang ke dalam mempunyai
susunan fonologis yang stabil dan tidak berubah dan keluar mempunyai
kemungkinan mobilitas di dalam kalimat. Batasan tersebut menyiratkan dua hal.
Pertama, bahwa setiap kata mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap dan
tidak dapat berubah serta tidak dapat diselipi atau diselang oleh fonem lain.
Kedua, setiap kata mempunyai kebebasan berpindah
tempat di dalam kalimat, atau tempatnya dapat diisi atau digantikan oleh kata
lain; atau juga dapat dipisahkan dari kata lainnya.
b.
Klasifikasi Kata
Istilah lain yang biasa dipakai untuk klasifikasi kata
adalah penggolongan kata, atau penjenisan kata; dalam peristilahan bahasa
Inggris disebut juga part of speech. Klasifikasi kata ini dalam sejarah
lingguistik selalu menjadi salah satu topik yang tidak pernah terlewatkan. Hal
ini terjadi, karena, pertama setiap bahasa mempunyai cirinya masing-masing;
dan kedua, karena kriteria yang digunakan untuk membuat klasifikasi kata itu
bisa bermacam-macam.
Para tata bahasawan tradisional menggunakan kriteria
makna dan kriteria fungsi. Kriteria makna digunakan untuk mengidentifikasikan
kelas verba, nomina, dan ajektifa; sedangkan kriteria fungsi digunakan untuk
mengidentifikasikan preposisi, konjungsi, adverbia, pronomina, dan
lain-lainnya. Verba adalah kata yang menyatakan tindakan atau perbuatan; yang
disebut nomina adalah kata yang menyatakan benda atau yang dibendakan; dan yang
disebut konjungsi adalah kata yang bertugas atau berfungsi untuk menghubungkan
kata dengan kata, atau bagian kalimat yang satu dengan bagian yang lain.
Para tata bahasawan strukturalis membuat klasifikasi
kata berdasarkan distribusi kata itu dalam suatu struktur atau konstruksi.
Misalnya, yang disebut nomina adalah kata yang dapat berdistribusi di belakang
kata bukan; atau dapat mengisi konstruksi bukan ….. Jadi, kata-kata seperti
buku, pensil dan nenek adalah termasuk nomina, sebab dapat berdistribusi di
belakang kata bukan itu. Yang termasuk verba adalah kata yang dapat
berdistribusi di belakang kata tidak, atau dapat mengisi konstruksi tidak …..
Jadi, kata-kata seperti makan, minum, lari adalah termasuk kelas verba, karena
dapat berdistribusi di belakang kata tidak itu. Lalu, yang disebut ajektifa
adalah kata-kata yang dapat berdistribusi di betakang kata sangat, atau dapat
mengisi konstruksi sangat ….. Jadi, kata-kata seperti merah, nakal, dan cantik
adalah termasuk ajektifa karena dapat berdistribusi di belakang kata sangat
itu.
Ada juga kelompok linguis yang menggunakan kriteria
fungsi sintaksis sebagai patokan untuk menentukan kelas kata. Secara umum,
fungsi subjek diisi oleh kelas nomina; fungsi predikat diisi oleh verba atau
ajektifa; fungsi objek oleh kelas nomina; dan fungsi keterangan oleh adverbia.
Oleh karena itu semua kata yang menduduki fungsi keterangan dimasukkan ke dalam
golongan adverbia.
Klasifikasi atau penggolongan kata itu memang perlu.
Dengan mengenal kelas sebuah kata, yang dapat kita identifikasikan dari
ciri-cirinya, kita dapat memprediksikan penggunaan atau mendistribusian kata
itu di dalam ujaran, sebab hanya kata-kata yang berciri atau beridentifikasi
yang sama saja yang dapat menduduki suatu fungsi atau suatu distribusi di dalam
kalimat. Umpamanya, kata-kata seperti minum, mandi, dan menyanyi dapat
menggantikan distribusi kata makan dalam kalimat Dia sedang makan. Tetapi
kata-kata seperti rumah, lima, dan laut tidak dapat menggantikan kata makan
itu.
Sebagai kesimpulan dari kelas kata ini, bisa dikatakan
penentuan kata-kata berdasarkan kelas atau golongan memang perlu di lakukan.
Karena setelah kita mengetahui kelas kata atau golongan kata kita akan
mengetahui makna dan fungsi kata-kata tersebut dalam suatu kalimat.
c.
Pembentukan Kata
Pembentukan kata
dalam bahasa-bahasa di dunia memiliki dua sifat yaitu pertama membentuk kata-kata yang
bersifat inflektif, dan kedua yang bersifat derivatif:
v Inflektif
Menurut
Kridalaksana yang dimaksud dengan inflektif adalah “Unsur yang ditambahkan pada
sebuah kata untuk menunjukkan suatu hubungan
gramatikal.” Seperti huruf و /waw/
yang ditambahkan pada akhir kata /fi‟il/ menunjukkan makna jama‟
(plural). Seperti kata خسجىا “mereka telah keluar” ذهثىا
“mereka telah pergi” ذؼ ىٍّا “mereka telah belajar”,
dll.
Di antara
bahasa-bahasa yang memakai infleksi adalah bahasa Arab, bahasa Indonesia,
bahasa Inggris, bahasa Latin, bahasa Sangsekerta, dll. Dalam bahasa Arab
inflektif disebut dengan ا رٌصس فَ ا غٌٍىٌ
.
Unsur yang
ditambahkan pada kata dimaksud dapat berupa afiks, prefiks, infiks, dan sufiks,
atau juga berupa modivikasi internal. Penambahan yang sekaligus menimbul-kan
perubahan pada kata dasar yang berkategori verba disebut dengan konjugasi, dan
perubahan yang terjadi pada nomina dan adjektif disebut dengan deklinasi.
Konjugasi pada
verba biasanya berkenaan dengan kata, aspek, modus, diatesis, persona, jumlah
dan jenis. Sementara deklinasi biasanya berkenaan dengan jumlah, jenis dan
kasus.
Berikut ini
akan diberikan sebuah contoh konjugasi dalam bahasa Arab dari segi tense (waktu):
Disebut
|
Kala
|
Bentuk
|
Arti
|
فعل الماضي
|
Kala Lampau
|
حضر
|
Dia sudah datang
|
فعل المضارع
|
Kala Sekarang
|
يحضر
|
Dia sedang datang
|
فعل الأمر
|
Kala mendatang
|
أحضر
|
Hadirlah!
|
فعل النهي
|
|
لا تحضر
|
Jangan datang
|
v Derivatif
Derivatif
adalah “Proses pengimbuhan afiks non-inflektif pada dasar untuk membentuk
kata.”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
pembentukan kata secara inflektif tidak membentuk kata baru atau kata lain yang
berbeda identitas leksikalnya dengan bentuk dasarnya. Sementara pembentukan
kata secara derivatif adalah membentuk kata baru, kata yang identitas
leksikalnya tidak sama dengan kata dasarnya.
Dalam bahasa
Indonesia misalnya kata minum yang berkelas verba dibentuk menjadi minuman
yang berkelas nomina. Dalam bahasa Arab ditemukan hal yang sama, seperti
kata صٔس /nasara/ yang berkelas kata fi‟il,
dibentuk menjadi أصس
/nâshir-un/ yang berkelas
kata isim.
Proses
derivasi, di samping menimbulkan kelas kata yang berbeda, juga menimbulkan
makna yang berbeda, walaupun kelas kata sama. Dalam bahasa Arab misalnya, kata صٔس/nasara/ bisa juga
dibentuk menjadi صِٕىز /mansûr-un/. Kelas katanya sama
dangan أصس /nasir-un/ (yaitu sama-sama isim)
tetapi maknanya berbeda; أصس /nasir-un/
bermakna „penolong‟, sementara صِٕىز /mansûr-un/
bermakna „yang ditolong‟.
Proses derivasi dalam bahasa Arab
sering diistilahkan dengan /al-Taşrif al-iştilâhy/.
3.
PROSES MORFEMIS
Dalam
pembicaraan tentang infleksi dan derivasi sudah di bicarakan sebagian kecil
dari proses morfemis, atau proses morfologis, atau juga proses gramatikal,
khususnya pembentukan kata dengan afiks. Namun, hal ikhwal afiksnya itu sendiri
belum di bicarakan. Oleh karena itu, berikut ini akan di bicarakan
proses-proses morfemis yang berkenaan dengan afiksasi, redubplikasi, konposisi,
dan juga sedikit tentang konversi dan modifikasi intern. Kiranya perlu juga di
bicarakan produktifitas proses-proses morfemis itu.
a.
Afiksasi
Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau
bentuk dasar. Dalam proses ini terlibat unsur-unsur (1) dasar atau bentuk
dasar, (2) afiks, dan (3) makna gramatikal yang di hasilkan. Proses ini dapat
bersifat inflektif dan dapat pula bersifat derivatif. Namun, proses ini tidak
berlaku untuk semua bahasa. Ada sejumlah bahasa yang tidak mengenal proses
afiksasi ini.
Bentuk dasar yang menjadi dasar dalam proses afiksasi dapat berupa akar, yakni bentuk terkecil yangtidak
dapat di segmentasikan lagi, misal meja,
beli, makan, dan sikat dalam
bahasa indonesia; atau go, write, sing,
dan like dalam bahasa inggris. Dapat
juga berupa bentuk kompleks, seperti terbelakang
pada kata keterbelakangan, berlalu
pada memberlakukan, dan aturan pada kata beraturan. Dapat juga berupa frase, seperti ikut serta pada keikutsertaan,
istri simpanan pada istri simpananya,
dan tiba di jakarta pada setiba di jakarta.
b.
Reduplikasi
Reduplikasi
adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan,
secara sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi. Oleh karena itu,
lazim dibedakan adanya reuplikasi penuh, seperti meja-meja (dari dasar meja),
reduplikasi sebagian seperti lelaki (dari
dasar laki). Dan reduplikasi dengan
perubahan bunyi, seperti bolak balik
(dari dasar balik). Di samping itu,
dalam bahasa indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana masih mencatat adanya
reduplikasi semu, seperti mondar-mandir,
yaitu sejenis bentuk kata yang tampaknya sebagai reduplikasi, tetapi tidak
jelas bentuk dasarnya yang diulang.
c.
Komposisi
Komposisi adalah hasil dari proses penggabungan morfem dasar dangan
morfem dasar, baik yang bebas maupun yang terikat, sehingga terbentuk sebuah
konstruksi yang memiliki idenditas leksikal yang berbeda, atau yang baru.
Komposisi terdapat dalam banyak bahasa. Misalnya, lalu lintas, daya juang, dan rumah
sakit dalam bahasa Indonesia; akhirulkalam,
malaikalmaut, dan hajarulaswad dalam
bahasa Arab; dan blackboard, bluebird, dan greenhouse dalam bahasa Inggris.
d.
Konversi, Modifikasi Internal, dan Suplesi
Konversi, sering juga disebut derivasi zero, transmutasi, dan
transposisi, adalah proses pembentukan kata dari sebuah kata menjadi kata lain
tanpa perubahan unsur segmental. Umpamanya kata drink dalam bahasa
inggris adalah nomina seperti dalam kalimat have a drink!;tetapi dapat
diubah menjadi verba, drink, tanpa perubahan apa-apa, seperti dalam
kalimat if you’re thisrty, you must drink.Begitu juga kata tree dalam
kalimat the old tree fell adalah sebuah nomina; tetapi dalam the dogs
will tree the coon adalah bentuk verba, yang persis sama dengan bentuk nominanya. Contoh
dalam bahasa Indonesia, kata cangkul adalah nomina dalam kalimat Ayah
membeli cangkul baru; tetapi dalam kalimat cangkul dulu baik-baik tanah
itu, baru ditanami adalah sebuah verba.
e.
Pemendekan
Pemendekan
adalah proses penanggalan bagian-bagian leksem atau gabungan leksem sehingga
menjadi sebuah bentuk singkat, tetapi maknanya tetap sama dengan makna bentuk
sutuhnya. Misalnya, bentuk lab
(utuhnya laboratorium), hlm (utuhnya halaman), SD (utuhnya Sekolah
Dasar).
Dalam berbagai
kepustakaan, hasil proses pemendekan ini biasanya dibedakan atas penggalan, singkatan, danakronim.Yang
dimaksud dengan penggalan adalah kependekan berupa pengekalan satu atau dua
suku pertama dari bentuk yang dipendekan
itu. Contohnya lab atau labo dari laboratorium, dok dari bentuk utuh dokter, dan perpus dari
bentuk utuh perpustakaan.
Akronim adalah
hasil pemendekan yang berupa kata atau dapat dilafalkan sebagai kata. Misalnya
ABRI (AngkatanBersenjataRepublik Indonesia)
Pemendekan
merupakan proses yang cukup produktif dan hampir terdapat di semua bahasa.
Dalam bahasa Inggris ada contoh: UK (United Kingdom), UNO (United Nation
Organisation), GMT (Greenwitch Mean Time). Dalam bahasa latin ada contoh: Cs
(Cum suis). Dalam bahasa Prancis ada contoh: s.v.p (s’ilvous plait). Dan dalam
bahasa belanda juga ada contoh: PK (PaardeKrach). Dalam bahasa Indonesia
pemendekan ini menjadi sangat produktif, karena bahasa Indonesia seringkali
tidak mempunyai kata untuk menyatakan suatu konsep yang agak pelik atau sangat
pelik. Contohnya: bahasa Indonesia tidak mempunyai hospital, yang dimiliki adalah rumah
sakit; bahasa Indonesia juga tidak mempunyai train, yang dimiliki adalah kereta
api. Karena rumah sakit dan kereta
api terlalu panjang, maka dipendekan menjadi RS dan KA.
f.
Produktifitas Proses Morfemis
Yang dimaksud dengan produktivitas dalam proses morfemis ini adalah dapat
tidaknya proses pembentukan kata itu terutama afiksasi, reduplikasi, dan
komposisi digunakan berulang-ulang yang secara relatif tak terbatas; artinya,
ada kemungkinan menambah bentuk baru dengan proses tersebut. Proses inflektif
atau paradigmatis karena tidak membentuk kata baru, kata yang identitas
leksikalnya tidak sama dengan bentuk dasamya, trdak dapat dikatakan proses yang
produktif. Proses inflektif bersifat tertutup.
Proses derivasi bersifat terbuka. Artinya penutur suatu bahasa dapat
membuat kata kata baru dengan aroses tersebut. Proses derivasi adalah
produktif, sedangkan proses infleksi tidak produktif.
Namun, perlu diketahui ke produktifan proses derivasi ini, dan penambahan
alternan –alternan baru pada daftar derivasional, dibatasi oleh kaidah-kaidah
yang sudah ada. Misalnya pembentukan kata baru dengan prefiks memper- terbatas
pada dasar ajektival dan dasar numeral; dan tidak dapat ada dasar verbal.
Selain itu perlu juga di perhatian, meskipun kaidah mengizinkan untuik
terbentuknya suatu kata, namun dalam kenyataan berbahasa bentuk-bentuk tersebut
tidak terdapat.
Tidak adanya sebuah bentuk yang seharusnya ada. Fenomena ini terjadi
karena adanya bentuk lain yang menyebabkan tidak adanya betnuk yang dianggap
seharusnya ada.
Dalam bahasa Indonesia yang ada tampaknya bukan kasus bloking, melainkan
”persaingan” antara kata derivatif dengan bentuk atau konstruksi frase yang
menyatakan bentuk dasar dengan maknanya.
Bentuk-bentuk yang menurut kaidah gramatikal dimungkinkan keberadaannya,
tetapi ternyata tidak pernah ada, seperti mencatikan dan memisau di atas
disebut bentuk yang potensial yang pada suatu saat kelak mungkin dapat muncul
Sedangkan bentuk-bentuk yang nyata ada, seperti bentuk menjelekkan dan
bersepeda disebut bentuk-bentuk aktual.
4.
MORFOFONEMIK
a.
Pengertian morfofonemik
Menurut Sumadi (2010:140)
morfofonemik ialah “perubahan fonem” yang terjadi akibat
bertemunya
morfem yang satu dengan morfem yang lain. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh
Zaenal Arifin dan Junaiyah (2009:16) morfofonemik ialah proses berubahannya
suatu fonem menjadi fonem lain sesuai dengan fonem awal kata yang bersangkutan.
Kata {kerajaan} /k Ə raja?n/ terdiri
dua morfem, ialah morfem ke-an dan raja. Akibat pertemuan kedua morfem itu,
terjadilah proses morfofonemik yang berupa penambahan, ialah penambahan fonem
/?/ pada ke-an, hingga morfem ke-an menjadi /k Ə -?an/.
Berdasarkan contoh-contoh diatas
dapat dikemukakan dua catatan berikut. Pertama, sebenarnya yang berubah bukan
fonemnya, melainkan hanya fonnya saja. Hal ini dapat dipahami karena fonem
adalah satuan bunyi terkecil yang membedakan arti. Kedua, sebenarnya yang
berubah bukan fonemnya pada afiks saja, tetapi yang berubah juga dapat terjadi
pada fonem awal bentuk dasarnya.
b.
Macam-macam morfofonemik
Dalam buku abdul khoir maka morfofonemik dapat dibedakan menjadi 5
macam,yakni: Perubahan fonem dalam proses morfofonemik ini dapat berwujud :
1)
Pemunculan
fonem
2)
Pelesapan fonem
3)
Peluluhan fonem
4)
Perubahan fonem
5)
Pergeseran
fonem
Pemunculan fonem dapat kita lihat dalam proses pengimbuhan prefiks
me- dengan bentuk dasar baca menjadi membaca, dimana terlihat
muncul konsonan sengau /m/. Juga dalam proses pengimbuhan sufiks –an dengan
bentuk dasar hari menjadi /hariyan/ dimana terlihat muncul konsonan/y/
yang semula tidak ada. Pelepasan fonem dapat kita lihat dalam proses pengimbuhan
akhiran wan pada kata sejarah di mana fonem /h/ pada kata sejarah
itu menjadi hilang, juga dalam proses penggabungan kata anak dna
partikel –nda di mana fonem /k/ pada kata anak menjadi hilang,
dan juga pengimbuhan dengan prefiks ber- pada kata renang di mana
fonem /r/ dari prefiks itu di hilangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar