Kamis, 25 April 2013

morfologi

MORFOLOGI
Morfologi adalah ilmu yang membicarakan, morfem, yaitu bagaimana kata dibentuk dari morfem-morfem. Jadi, morfologi berurusan dengan struktur dalam kata. Apabila proses pembentukan masih terbatas pada  kata, maka proses itu belum keluar dari bidang morfologi. Misalnya, putus diberi imbuhan Me-dan-kan menjadi memutuskan. Baik unsur putus dan me- ataupun unsur-kan semuanya disebut morfem. Sedangkan satuan bunyi terkecil dari arus ujaran disebut fonem.

1.      MORFEM
Adalah satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna.(Abdul Khaer; Linguistik Umum). Menurut Linguis, Blommfield morfem sebagai bentuk bahasa yang tidak mengandung semi parsial apapun dalam untaian fonologi dan kandungan semantik dengan bentuk lain. Definisi ini juga mengandung makna yang sama bahwa morfem adalah satuan terkecil dalam konstruksi kata yang mengandung makna atau fungsi sintaksis dalam konstruksi kata. Untuk diketahui, bahasa tradisional tidak mengenal konsep maupun istilah morfem, sebab morfem bukan merupakan satuan dalam sintaksis dan tidak semua morfem punya makna secara filosofis. Morfem dikenalkan oleh kaum strukturalis pada awal abad ke 20.

a.      Identifikasi Morfem
Untuk menentukan sebuah satuan bentuk adalah morfem atau bukan, dengan cara membandingkan bentuk tersebut di dalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain. Kalau bentuk tersebut ternyata bisa hadir berulang-ulang dengan bentuk lain, maka bentuk tersebut adalah sebuah morfem selain itu juga harus dikenal maknanya. Contoh kita ambil bentuk [kedua], ternyata bentuk tersebut dapat kita bandingkan dengan bentuk-bentuk: ketiga, kelima, ketujuh, kedelapan, ( menyatakan tingkatan atau derajat).

b.      Morf dan Alomorf
Sudah disebutkan bahwa morfem dalah bentuk yang sama, yang terdapat berulang-ulang dalam satuan bentuk yang lain.
Contoh: Melihat, merasa ,membawa, membantu, mendengar, menduda, menyanyi, menyikat,  menggali, menggoda, mengeles, mengetes.

Ada bentuk-bentuk yang mirip atau hampir sama, tetapi kita juga tahu bahwa maknanya juga sama.bentuk-bentuk itu adalah me- pada melihat dan merasa, mem- pada membawa dan membantu, men- pada medengar dan menduda, meny- pada menyanyi dan menyikat, meng- pada menggali dan menggoda, dan menge- pada mengeles dan mengetes. Semua imbuhan tersebut bisa disebut sebuah morfem. Sebab meskipun bentuknya tidak persis sama, tetapi perbedaannya dapat dijelaskan secara fonologis.
            Bentuk me- berdistribusi, antara lain pada bentuk dasar yang fonem awalnya konsonan /l/ dan /r/; bentuk mem- berdistribusi, pada /b/ dan /p/; bentuk men- berdistribusi, pada /d/ dan /t/; bentuk meny- berdistribusi, pada /s/; bentuk meng- berdistribusi, pada /g/ dan /k/; dan bentuk menge- berdistribusi, antara lain pada bentuk dasar yang eka suku.
           Bentuk-bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama itu disebut alomorf. Dengan kata lain alomorf adalah perwujudan konkret dari sebuah morfem. Selain itu bisa juga dikatakan morf dan alomorf  adalah dua buah nama untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya, sedangkan alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui status morfemnya.

c.       Klasifikasi Morfem
Morfem-morfem dalam setiap bahasa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria. Antara lain berdasarkan kebebasannya, keutuhannya,dan maknanya.

v  Morfem Bebas dan Morfem Terikat
            Yang dimaksud dengan morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam pertuturan. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, bentuk pulang, makan, rumah, dan bagus adalah termasuk morfem bebas. Maka morfem-morfem itu dapat digunakan tanpa harus terlebih dahulu menggabungkannya dengan morfem lain. Sebaliknya, yang dimaksud dengan morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertuturan.
v  Morfem Utuh dan Morfem Terbagi
Perbedaan morfem utuh dan morfem terbagi berdasarkan bentuk formal yang dimiliki morfem tersebut, apakah merupakan satu kesatuan yang utuh atau merupakan dua bagian yang terpisah atau terbagi, karena disisipi morfem lain. Sedangkan morfem terbagi adalah sebuah morfem yang terdiri dari dua buah bagian yang terpisah. Umpamanya pada kata Indonesia kesatuan terdapat satu morfem utuh, yaitu {satu} dan satu morfem terbagi, yakni {ke-/-an}. Sehubungan dengan morfem terbagi ini, untuk bahasa Indonesia.
v  Morfem Segmental dan Suprasegmental
Perbedaan morfem segmental dan morfem suprasegmental berdasarkan jenis fonem yang membentuknya. Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem {lihat}, {lah}, {sikat}, dan {ber}. Jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan, nada, durasi, dan sebagainya.
v  Morfem Beralomorf Zero
Dalam linguistik deskriptif ada konsep mengenai morfem beralomorf zero atau nol (lambangnya berupa Ø), yaitu morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsur suprasegmental), melainkan berupa “kekosongan”.
v  Morfem Bermakna Leksikal dan Morfem Tak Bermakna Leksikal
Yang dimaksud dengan morfem bermakna leksikal adalah morfem-morfem yang secara inheren telah memiliki makna pada dirinya sendiri, tanpa perlu berproses terlebih dulu dengan morfem lain. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, morfem-morfem seperti {kuda} adalah morfem bermakna leksikal. Oleh karena itu, morfem seperti ini, dengan sendirinya sudah dapat digunakan secara bebas, dan mempunyai kedudukan yang otonom di dalam pertuturan.
Sebaliknya, morfem tak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri. Morfem ini baru mempunyai makna dalam gabungannya dengan morfem lain dalam suatu proses morfologi. Yang biasa dimaksud dengan morfem tak bermakna leksikal ini adalah morfem-morfem afiks, seperti {ber-}, {me-}, dan {ter-}.

Ada satu bentuk morfem lagi yang perlu dibicarakan atau dipersoalkan mempunyai makna leksikal atau tidak, yaitu morfem-morfem yang di dalam gramatika berkategori sebagai preposisi dan konjungsi. Morfem-morfem yang termasuk preposisi dan konjungsi jelas bukan afiks dan jelas memiliki makna. Namun, kebebasanya dalam pertuturan juga terbatas, meskipun tidak seketat kebebasan morfem afiks. Kedua jenis morfem ini tidak pernah terlibat dalam proses morfologi, padahal afiks jelas terlibat dalam proses morfologi, meskipun hanya sebagai pembentuk kata.

d.      Morfem Dasar, Dasar, Pangkal, dan Akar
Morfem dasar yaitu morfem yang dileburi morfem lain, baik yang dileburkan berupa imbuhan maupun klitika atau bentuk dasar yang lain dalam (pemajemukan) atau yang sama dalam (reduplikasi).
Istilah morfem dasar biasanya digunakan sebagai dikotomi dengan morfem afiks.
Contoh : juang, kucing, sikat, henti.
Istilah pangkal (stem) digunakan untuk menyebut bentuk dasar dalam proses infleksi atau proses pembubuhan afiks inflektif.
Contoh : books  pangkalnya adalah book, untouchables pangkalnya adalah untouchable .
Istilah akar (root) digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak dapat di analisis lebih jauh lagi. Contoh : untouchables akarnya adalah touch. 
tiga macam morfem dasar bahasa indonesia dilihat dari status atau potensinya dalam proses gramatika yang dapat terjadi pada morfem dasar itu.
  1. Morfem dasar bebas
yaitu : mofem dasar yang secara potensial dapat langsung menjadi kata, sehingga langsung dapat digunakan dalam ujaran. Contoh, morfem {meja}, {kursi}, {pergi} dan {kuning}.
  1. Morfem dasar yang kebebasannya dipersoalkan
yaitu : sejumlah  morfem berakar verba, yanng dalam kalimat imperatif atau kalimat sisipan, tidak perlu di beri imbuhan, dan dalam deklaratif imbuhannya dapat di tinggalkan. Contoh : {-ajar}, {-tulis}, {-lihat} dan {-beli}
  1. Morfem dasar terikat .
yaitu : morfem dasar yang tidak mempunyai potensi unntuk menjadi kata tanpa terlebih dahulu mendapat proses morfologi. Contoh  : {juang}, {henti}, {gaul} dan {abai}.
Dalam kelompok ketiga ini dapat dimasukkan juga sejumlah morfem   yang hanya dapat muncul pada pasangan tetap, seperti renta (yang hanya muncul pada tua renta), kerontang (yanng hanya muncul pada kering kerontang), dan kuyup (yanghanya muncul pada basah kuyup).

2.      KATA
Secara panjang lebar di atas telah dibicarakan mengenai satuan gramatikal yang disebut morfem. Namun, istilah dan konsep morfem ini tidak dikenal oleh para tata bahasawan tradisional. Yang ada dalam tata bahasa tradisional sebagai satuan lingual yang selalu dibicarakan adalah satuan yang disebut kata. Apakah kata itu, bagaimana kaitannya dengan morfem, bagaimana klasifikasinya, serta bagaimana pembentukannya, akan dibicarakan berikut ini:


a.      Hakikat Kata
Para tata bahasawan tradisional biasanya memberi pengertian terhadap kata berdasarkan arti dan ortografi. Menurut mereka kata adalah satuan bahasa yang memiliki satu pengertian; atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi, dan mempunyai satu arti. Pendekatan arti dan ortografi dari tata bahasa tradisional ini banyak menimbulkan masalah. Kata-kata seperti sikat, kucing dan spidol memang bisa dipahami sebagai satu kata; tetapi bentuk-bentuk seperti matahari, tiga puluh, dan luar negeri apakah sebuah kata, ataukah dua buah kata, bisa diperdebatkan orang. Pendekatan ortografi untuk bahasa-bahasa yang menggunakan huruf Latin, bisa dengan mudah dipahami, meskipun masih timbul persoalan. Tetapi pendekatan ortografi ini agak sukar diterapkan untuk bahasa yang tidak menggunakan huruf Latin,
Para tata bahasawan struktural, terutama penganut aliran Bloomfield, tidak lagi membicarakan kata sebagai satuan lingual; dan menggantinya dengan satuan yang disebut morfem.
Para linguis setelah Bloomfield juga tidak menaruh perhatian khusus terhadap konsep kata. Tidak dibicarakannya hakikat kata secara khusus oleh kelompok Bloomfield dan pengikutnya adalah karena dalam analisis bahasa, mereka melihat hierarki bahasa sebagai: fonem, morfem, dan kalimat. Berbeda dengan tata bahasa tradisional yang melihat hierarki bahasa sebagai: fonem, kata, dan kalimat.
Batasan kata yang umum kita jumpai dalam berbagai buku linguistik Eropa adalah bahwa kata merupakan bentuk yang ke dalam mempunyai susunan fonologis yang stabil dan tidak berubah dan keluar mempunyai kemungkinan mobilitas di dalam kalimat. Batasan tersebut menyiratkan dua hal. Pertama, bahwa setiap kata mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap dan tidak dapat berubah serta tidak dapat diselipi atau diselang oleh fonem lain.
Kedua, setiap kata mempunyai kebebasan berpindah tempat di dalam kalimat, atau tempatnya dapat diisi atau digantikan oleh kata lain; atau juga dapat dipisahkan dari kata lainnya.

b.      Klasifikasi Kata
Istilah lain yang biasa dipakai untuk klasifikasi kata adalah penggolongan kata, atau penjenisan kata; dalam peristilahan bahasa Inggris disebut juga part of speech. Klasifikasi kata ini dalam sejarah lingguistik selalu menjadi salah satu topik yang tidak pernah terlewatkan. Hal ini terjadi, karena, pertama setiap bahasa mempunyai cirinya masing­-masing; dan kedua, karena kriteria yang digunakan untuk membuat klasifikasi kata itu bisa bermacam-macam.
Para tata bahasawan tradisional menggunakan kriteria makna dan kriteria fungsi. Kriteria makna digunakan untuk mengidentifikasikan kelas verba, nomina, dan ajektifa; sedangkan kriteria fungsi digunakan untuk mengidentifikasikan preposisi, konjungsi, adverbia, pronomina, dan lain-lainnya. Verba adalah kata yang menyatakan tindakan atau perbuatan; yang disebut nomina adalah kata yang menyatakan benda atau yang dibendakan; dan yang disebut konjungsi adalah kata yang bertugas atau berfungsi untuk menghubungkan kata dengan kata, atau bagian kalimat yang satu dengan bagian yang lain.
Para tata bahasawan strukturalis membuat klasifikasi kata berdasarkan distribusi kata itu dalam suatu struktur atau konstruksi. Misalnya, yang disebut nomina adalah kata yang dapat berdistribusi di belakang kata bukan; atau dapat mengisi konstruksi bukan ….. Jadi, kata-kata seperti buku, pensil dan nenek adalah termasuk nomina, sebab dapat berdistribusi di belakang kata bukan itu. Yang termasuk verba adalah kata yang dapat berdistribusi di belakang kata tidak, atau dapat mengisi konstruksi tidak ….. Jadi, kata-kata seperti makan, minum, lari adalah termasuk kelas verba, karena dapat berdistribusi di belakang kata tidak itu. Lalu, yang disebut ajektifa adalah kata-kata yang dapat berdistribusi di betakang kata sangat, atau dapat mengisi konstruksi sangat ….. Jadi, kata-kata seperti merah, nakal, dan cantik adalah termasuk ajektifa karena dapat berdistribusi di belakang kata sangat itu.
Ada juga kelompok linguis yang menggunakan kriteria fungsi sintaksis sebagai patokan untuk menentukan kelas kata. Secara umum, fungsi subjek diisi oleh kelas nomina; fungsi predikat diisi oleh verba atau ajektifa; fungsi objek oleh kelas nomina; dan fungsi keterangan oleh adverbia. Oleh karena itu semua kata yang menduduki fungsi keterangan dimasukkan ke dalam golongan adverbia.
Klasifikasi atau penggolongan kata itu memang perlu. Dengan mengenal kelas sebuah kata, yang dapat kita identifikasikan dari ciri-cirinya, kita dapat memprediksikan penggunaan atau mendistribusian kata itu di dalam ujaran, sebab hanya kata-kata yang berciri atau beriden­tifikasi yang sama saja yang dapat menduduki suatu fungsi atau suatu distribusi di dalam kalimat. Umpamanya, kata-kata seperti minum, mandi, dan menyanyi dapat menggantikan distribusi kata makan dalam kalimat Dia sedang makan. Tetapi kata-kata seperti rumah, lima, dan laut tidak dapat menggantikan kata makan itu.
Sebagai kesimpulan dari kelas kata ini, bisa dikatakan penentuan kata-kata berdasarkan kelas atau golongan memang perlu di lakukan. Karena setelah kita mengetahui kelas kata atau golongan kata kita akan mengetahui makna dan fungsi kata-kata tersebut dalam suatu kalimat.

c.       Pembentukan Kata
Pembentukan kata dalam bahasa-bahasa di dunia memiliki dua sifat  yaitu pertama membentuk kata-kata yang bersifat inflektif, dan kedua yang bersifat derivatif:
v  Inflektif
Menurut Kridalaksana yang dimaksud dengan inflektif adalah “Unsur yang ditambahkan pada sebuah kata untuk menunjukkan suatu hubungan gramatikal.” Seperti huruf و /waw/ yang ditambahkan pada akhir kata /fi‟il/ menunjukkan makna jama‟ (plural). Seperti kata خسجىا “mereka telah keluar” ذهثىا “mereka telah pergi” ذؼ ىٍّا “mereka telah belajar”, dll.

Di antara bahasa-bahasa yang memakai infleksi adalah bahasa Arab, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Latin, bahasa Sangsekerta, dll. Dalam bahasa Arab inflektif disebut dengan ا رٌصس فَ ا غٌٍىٌ .
Unsur yang ditambahkan pada kata dimaksud dapat berupa afiks, prefiks, infiks, dan sufiks, atau juga berupa modivikasi internal. Penambahan yang sekaligus menimbul-kan perubahan pada kata dasar yang berkategori verba disebut dengan konjugasi, dan perubahan yang terjadi pada nomina dan adjektif disebut dengan deklinasi.
Konjugasi pada verba biasanya berkenaan dengan kata, aspek, modus, diatesis, persona, jumlah dan jenis. Sementara deklinasi biasanya berkenaan dengan jumlah, jenis dan kasus.

Berikut ini akan diberikan sebuah contoh konjugasi dalam bahasa Arab dari segi tense (waktu):

           Disebut
             Kala
        Bentuk
                Arti
فعل الماضي       
Kala Lampau
حضر         
Dia sudah datang
فعل المضارع       
Kala Sekarang
يحضر        
Dia sedang datang
فعل الأمر        
Kala mendatang
أحضر        
Hadirlah!
فعل النهي       

لا تحضر       
Jangan datang


v  Derivatif
Derivatif adalah “Proses pengimbuhan afiks non-inflektif pada dasar untuk membentuk kata.”
 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembentukan kata secara inflektif tidak membentuk kata baru atau kata lain yang berbeda identitas leksikalnya dengan bentuk dasarnya. Sementara pembentukan kata secara derivatif adalah membentuk kata baru, kata yang identitas leksikalnya tidak sama dengan kata dasarnya.
Dalam bahasa Indonesia misalnya kata minum yang berkelas verba dibentuk menjadi minuman yang berkelas nomina. Dalam bahasa Arab ditemukan hal yang sama, seperti kata صٔس /nasara/ yang berkelas kata fi‟il, dibentuk menjadi أصس
/nâshir-un/ yang berkelas kata isim.
Proses derivasi, di samping menimbulkan kelas kata yang berbeda, juga menimbulkan makna yang berbeda, walaupun kelas kata sama. Dalam bahasa Arab misalnya, kata صٔس/nasara/ bisa juga dibentuk menjadi صِٕىز /mansûr-un/. Kelas katanya sama dangan أصس /nasir-un/ (yaitu sama-sama isim) tetapi maknanya berbeda; أصس /nasir-un/ bermakna „penolong‟, sementara صِٕىز /mansûr-un/ bermakna „yang ditolong‟.
Proses derivasi dalam bahasa Arab sering diistilahkan dengan /al-Taşrif al-iştilâhy/.

3.      PROSES MORFEMIS
Dalam pembicaraan tentang infleksi dan derivasi sudah di bicarakan sebagian kecil dari proses morfemis, atau proses morfologis, atau juga proses gramatikal, khususnya pembentukan kata dengan afiks. Namun, hal ikhwal afiksnya itu sendiri belum di bicarakan. Oleh karena itu, berikut ini akan di bicarakan proses-proses morfemis yang berkenaan dengan afiksasi, redubplikasi, konposisi, dan juga sedikit tentang konversi dan modifikasi intern. Kiranya perlu juga di bicarakan produktifitas proses-proses morfemis itu.

a.       Afiksasi
Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar. Dalam proses ini terlibat unsur-unsur (1) dasar atau bentuk dasar, (2) afiks, dan (3) makna gramatikal yang di hasilkan. Proses ini dapat bersifat inflektif dan dapat pula bersifat derivatif. Namun, proses ini tidak berlaku untuk semua bahasa. Ada sejumlah bahasa yang tidak mengenal proses afiksasi ini.
Bentuk dasar yang menjadi dasar dalam proses afiksasi dapat berupa akar, yakni bentuk terkecil yangtidak dapat di segmentasikan lagi, misal meja, beli, makan, dan sikat dalam bahasa indonesia; atau go, write, sing, dan like dalam bahasa inggris. Dapat juga berupa bentuk kompleks, seperti terbelakang pada kata keterbelakangan, berlalu pada memberlakukan, dan aturan pada kata beraturan. Dapat juga berupa frase, seperti ikut serta pada keikutsertaan, istri simpanan pada istri simpananya, dan tiba di jakarta pada setiba di jakarta.

b.      Reduplikasi
Reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, secara sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi. Oleh karena itu, lazim dibedakan adanya reuplikasi penuh, seperti meja-meja (dari dasar meja), reduplikasi sebagian seperti lelaki (dari dasar laki). Dan reduplikasi dengan perubahan bunyi, seperti bolak balik (dari dasar balik). Di samping itu, dalam bahasa indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana masih mencatat adanya reduplikasi semu, seperti mondar-mandir, yaitu sejenis bentuk kata yang tampaknya sebagai reduplikasi, tetapi tidak jelas bentuk dasarnya yang diulang.

c.       Komposisi
Komposisi adalah hasil dari proses penggabungan morfem dasar dangan morfem dasar, baik yang bebas maupun yang terikat, sehingga terbentuk sebuah konstruksi yang memiliki idenditas leksikal yang berbeda, atau yang baru. Komposisi terdapat dalam banyak bahasa. Misalnya, lalu lintas, daya juang, dan rumah sakit dalam bahasa Indonesia; akhirulkalam, malaikalmaut, dan hajarulaswad dalam bahasa Arab; dan blackboard, bluebird, dan greenhouse dalam bahasa Inggris.



d.      Konversi, Modifikasi Internal, dan Suplesi
Konversi, sering juga disebut derivasi zero, transmutasi, dan transposisi, adalah proses pembentukan kata dari sebuah kata menjadi kata lain tanpa perubahan unsur segmental. Umpamanya kata drink dalam bahasa inggris adalah nomina seperti dalam kalimat have a drink!;tetapi dapat diubah menjadi verba, drink, tanpa perubahan apa-apa, seperti dalam kalimat if you’re thisrty, you must drink.Begitu juga kata tree dalam kalimat the old tree fell adalah sebuah nomina; tetapi dalam the dogs will tree the coon adalah bentuk verba, yang persis sama dengan bentuk nominanya. Contoh dalam bahasa Indonesia, kata cangkul adalah nomina dalam kalimat Ayah membeli cangkul baru; tetapi dalam kalimat cangkul dulu baik-baik tanah itu, baru ditanami adalah sebuah verba.

e.       Pemendekan
Pemendekan adalah proses penanggalan bagian-bagian leksem atau gabungan leksem sehingga menjadi sebuah bentuk singkat, tetapi maknanya tetap sama dengan makna bentuk sutuhnya. Misalnya, bentuk lab (utuhnya laboratorium), hlm (utuhnya halaman), SD (utuhnya Sekolah Dasar).
            Dalam berbagai kepustakaan, hasil proses pemendekan ini biasanya dibedakan atas penggalan, singkatan, danakronim.Yang dimaksud dengan penggalan adalah kependekan berupa pengekalan satu atau dua suku  pertama dari bentuk yang dipendekan itu. Contohnya lab atau labo dari laboratorium, dok dari bentuk utuh dokter, dan perpus dari bentuk utuh perpustakaan.
      Akronim adalah hasil pemendekan yang berupa kata atau dapat dilafalkan sebagai kata. Misalnya ABRI (AngkatanBersenjataRepublik Indonesia)
            Pemendekan merupakan proses yang cukup produktif dan hampir terdapat di semua bahasa. Dalam bahasa Inggris ada contoh: UK (United Kingdom), UNO (United Nation Organisation), GMT (Greenwitch Mean Time). Dalam bahasa latin ada contoh: Cs (Cum suis). Dalam bahasa Prancis ada contoh: s.v.p (s’ilvous plait). Dan dalam bahasa belanda juga ada contoh: PK (PaardeKrach). Dalam bahasa Indonesia pemendekan ini menjadi sangat produktif, karena bahasa Indonesia seringkali tidak mempunyai kata untuk menyatakan suatu konsep yang agak pelik atau sangat pelik. Contohnya: bahasa Indonesia tidak mempunyai hospital, yang dimiliki adalah rumah sakit; bahasa Indonesia juga tidak mempunyai train, yang dimiliki adalah kereta api. Karena rumah sakit dan  kereta api terlalu panjang, maka dipendekan menjadi RS dan KA.


f.       Produktifitas Proses Morfemis
Yang dimaksud dengan produktivitas dalam proses morfemis ini adalah dapat tidaknya proses pembentukan kata itu terutama afiksasi, reduplikasi, dan komposisi digunakan berulang-ulang yang secara relatif tak terbatas; artinya, ada kemungkinan menambah bentuk baru dengan proses tersebut. Proses inflektif atau paradigmatis karena tidak membentuk kata baru, kata yang identitas leksikalnya tidak sama dengan bentuk dasamya, trdak dapat dikatakan proses yang produktif. Proses inflektif bersifat tertutup.

Proses derivasi bersifat terbuka. Artinya penutur suatu bahasa dapat membuat kata kata baru dengan aroses tersebut. Proses derivasi adalah produktif, sedangkan proses infleksi tidak produktif.
Namun, perlu diketahui ke produktifan proses derivasi ini, dan penambahan alternan –alternan baru pada daftar derivasional, dibatasi oleh kaidah-kaidah yang sudah ada. Misalnya pembentukan kata baru dengan prefiks memper- terbatas pada dasar ajektival dan dasar nu­meral; dan tidak dapat ada dasar verbal.

Selain itu perlu juga di perhatian, meskipun kaidah mengizinkan untuik terbentuknya suatu kata, namun dalam kenyataan berbahasa bentuk-bentuk tersebut tidak terdapat.
Tidak adanya sebuah bentuk yang seharusnya ada. Fenomena ini terjadi karena adanya bentuk lain yang menyebabkan tidak adanya betnuk yang dianggap seharusnya ada.
Dalam bahasa Indonesia yang ada tampaknya bukan kasus bloking, melainkan ”persaingan” antara kata derivatif dengan bentuk atau konstruksi frase yang menyatakan bentuk dasar dengan maknanya.
Bentuk-bentuk yang menurut kaidah gramatikal dimungkinkan keberadaannya, tetapi ternyata tidak pernah ada, seperti mencatikan dan memisau di atas disebut bentuk yang potensial yang pada suatu saat kelak mungkin dapat muncul Sedangkan bentuk-bentuk yang nyata ada, seperti bentuk menjelekkan dan bersepeda disebut bentuk-bentuk aktual.

4.      MORFOFONEMIK
a.       Pengertian morfofonemik
            Menurut Sumadi (2010:140) morfofonemik ialah “perubahan fonem” yang terjadi akibat
bertemunya morfem yang satu dengan morfem yang lain. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Zaenal Arifin dan Junaiyah (2009:16) morfofonemik ialah proses berubahannya suatu fonem menjadi fonem lain sesuai dengan fonem awal kata yang bersangkutan.

            Kata {kerajaan} /k Ə raja?n/ terdiri dua morfem, ialah morfem ke-an dan raja. Akibat pertemuan kedua morfem itu, terjadilah proses morfofonemik yang berupa penambahan, ialah penambahan fonem /?/ pada ke-an, hingga morfem ke-an menjadi /k Ə -?an/.

            Berdasarkan contoh-contoh diatas dapat dikemukakan dua catatan berikut. Pertama, sebenarnya yang berubah bukan fonemnya, melainkan hanya fonnya saja. Hal ini dapat dipahami karena fonem adalah satuan bunyi terkecil yang membedakan arti. Kedua, sebenarnya yang berubah bukan fonemnya pada afiks saja, tetapi yang berubah juga dapat terjadi pada fonem awal bentuk dasarnya.

b.      Macam-macam morfofonemik
Dalam buku abdul khoir maka morfofonemik dapat dibedakan menjadi 5 macam,yakni: Perubahan fonem dalam proses morfofonemik ini dapat berwujud :
1)                  Pemunculan fonem
2)                  Pelesapan fonem
3)                  Peluluhan fonem
4)                  Perubahan fonem
5)                  Pergeseran fonem
Pemunculan fonem dapat kita lihat dalam proses pengimbuhan prefiks me- dengan bentuk dasar baca menjadi membaca, dimana terlihat muncul konsonan sengau /m/. Juga dalam proses pengimbuhan sufiks –an dengan bentuk dasar hari menjadi /hariyan/ dimana terlihat muncul konsonan/y/ yang semula tidak ada. Pelepasan fonem dapat kita lihat dalam proses pengimbuhan akhiran wan pada kata sejarah di mana fonem /h/ pada kata sejarah itu menjadi hilang, juga dalam proses penggabungan kata anak dna partikel –nda di mana fonem /k/ pada kata anak menjadi hilang, dan juga pengimbuhan dengan prefiks ber- pada kata renang di mana fonem /r/ dari prefiks itu di hilangkan.

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar